Oleh, Salsabila
El-Basima*
Terlalu penat untuk menunggu pelangi hadir . Nampaknya pelangi
enggan menghiasi cakrawala biru sore ini, padahal siang tadi bumi telah
tersiram oleh rintikkan hujan. Air mukamu muram, tak secerah langit sore hingga
kau putuskan untuk pulang ke rumah. Semilir angin sore meniup rambutmu yang
hitam legam, menyentuh pipimu dengan manja seakan ingin menghibur kesedihanmu
karna pelangi.
Dalam
kebisuanmu, kau pergi tergesa menuju kamar. Ibumu hanya menggelengkan kepala
melihat tingkahmu yang tak karuan. Sentimen kecilmu itu terus bertanya.
Mengapa pelangi tak hadir? Apakah dia marah padaku karna nilai ulanganku turun?
“Ya, pasti pelangi marah padaku!”
Gumammu pelan.
Namun tiba-tiba
saja pandanganmu mulai kabur, tatapanmu mulai tak fokus, kunang-kunang terus
menari di pelupuk matamu. Tubuh kecilmu perlahan rapuh, lalu tersungkur diatas kasur tak sadarkan diri. Terlalu
penat!
@@@
Tetesan embun
yang menetes pada setiap helaian daun terdengar berirama. Burung-burung
bernyanyi dengan penuh harmoni. Mentari tersenyum menyambut hari baru, sinarnya
menembus jendela kayu yang terbuka lebar. Membangunkan gadis berambut hitam
legam.
Perlahan matamu
terbuka, kau bangkit dari tidurmu yang lelap, berjalan kearah pintu sembari mengaruk-garuk kepalamu yang tak gatal. Mata
jernihmu masih menerawang ke arah pintu. Matamu bersinar seketika. Bibir
merahmu mengembang penuh harap.
“Pelangi yang
indah!” Pekikmu girang.
Sayang, awan
hitam enggan membiarkan senyumanmu lebih lama. Awan hitam itu menutup pelangimu
yang elok. Kilatan cahaya mulai terdengar menggelegar. Angin berhembus sangat
kencang.
Kau hanya
mematung di ambang pintu. Seketika kilatan cahaya itu terlihat jelas tepat di
depan retina matamu. Suaranya menggelegar begitu keras. Bibirmu memucat lalu
kau masuk ke dalam rumah. Mengunci pintu rapat-rapat.
Kau berjalan ke arah
cermin berukirkan kayu yang indah. Cermin itu memantulkan siluet wajahmu yang
mendung. Kau tertegun karnanya. Ah tidak ! dimana kau sekarang ? bukankah
kau tak sadarkan diri di kamarmu? Tapi sekarang kau berada di rumah kayu dank kau
sama sekali tak mengenal tempat ini. Bagus ! sekarang kau masuk dalam duniaku !
Mata ekormu
menagkap seorang putri bergaun putri berwarna biru. Kulitnya putih bersih.
Kepalanya berhiaskan mahkota berlian. Di punggungnya sepasang sayap putih
berbulu lembut. Kau menoleh dengan keterkejutanmu. Kau tahu ? putri yang kau
maksud adalah aku.
“Kemarilah,
Natasya!” Panggilku lembut.
Kau
menghamipiriku sembari menatapku ragu.
“Siapa kau? Dan
dimana aku sekarang?” Tanyamu tak sabar. Aku tersenyum menenangkan.
“Aku adalah peri
biru, tugasku adalah menghukummu, dan sekarang kamu berada di rumah kakek
William. Dia akan mengajarimu tentang pelajaran kehidupan” Jelasku.
“APA? HUKUMAN?”
Teriakmu.”Kau bercanda? Aku tak pernah melakukan kesalahan apapun, bukankah aku
selalu berbuat baik kepada orang lain? Dan seharusnya kau tahu peri, semua
orang menyukaiku karena aku pintar. Jadi untuk apalagi aku belajar pelajaran
kehidupan?” Bantahmu dengan keangkuhanmu. Rupanya tabi’at sombong masih melekat
dalam dirimu.
Aku mendengus
pelan.
“Introspeksi
dirilah! Pelangi marah, nilai-nilai ujianmu menurun itu karena sifatmu.
Natasya, dengar! Jika kamu ingin kembali ke rumah, jalani hukuman ini dengan
sabar dan jangan pernah merendahkan orag lain! Aku akan selalu mengawasimu !”
Jelasku.
Kau hanya diam
seribu bahasa. Entah apa yang kau pikirkan dalam sentimen kecilmu itu. Namun
aku bisa membaca dari pancaran matamu bahwasannya kau kecewa atas dirimu yang
telah membuat paelangi marah.
Tanpa ba-bi-bu
aku segera menghilang dari hadapanmu. Kau terkesiap dari lamunanmu tatkala
kakek tua yang hampir di makan usia itu menepuk bahumu. Kakek tua menyeringai
tulus padamu.
“Tenanglah cucuku!
Kau hanya perlu mengajari warga desa ini membaca dan berkebun selama 1 bulan!.”
Cakap kakek.
Wajahmu kembali
berseri.
“Hanya itu kek?
Itu sih terlalu mudah untuk seorang Natasya Wijaya.” Katamu congkak.
@@@
Hari pertama kau
lewati dengan sikap angkuhmu. Mereka yang tak bisa, kau rendahkan dengan setiap
kata yang terlontar dari lisanmu. Sentakkan, cacian memenuhi atmosfir rumah
kayu yang kau jadikan tempat mengajar warga desa.
Aku yakin, mereka
tak tahan dengan sikapmu itu. Kau memang keras kepala tak mendengarkan
nasehatku. Kakek tua yang ingin mengajarimu berkebun pun, kau usir pergi namun
dia tetap tersenyum dan meninggalkanmu.
Belum juga genap
dua minggu, kau menyerah. Termenung menatap langit senja yang mulai terganti
oleh malam. Butiran bening itu mengalir membasahi pipimu. Sang Kakek datang
menghampirimu.
“Jangan sedih!”
Ujarnya padamu.
Kau hanya
tersenyum simpul. Mulutmu mulai bercakap. Mengeluh akan hukuman yang tengah kau
jalani. Kau tanya padanya. Namun dia hanya menatapmu iba. Kakek William itu menasehatimu
dengan lembut. Kau tertunduk sembari mendengarkannya dia memberitahumu akan
tabi’at sombong yang ada pada dirimu dan menceritakan semua tentangmu.
“Kenapa tak
pernah ada yang menegurku?” Tanyamu.
“Orang-orang di
sekitarmu selalu mengurmu Natasya! Tapi
kau tak pernah mendengarkan mereka dan selalu membela dirimu sendiri!” Pipimu
memerah.
“Iya kek! ini
kesalahanku, dan aku janji akan berubah” Katamu mantap.
Kakek William
menyeringai bahagia. Janjimu telah ku pegang. Mulai sejak saat itu semua
berubah! Kau ajari warga desa dengan penuh kesabaran. Tak ada lagi cemoohan dan
sentakan yang biasa memenuhi atmosfer rumah kayu yang hampir roboh dimakan
zaman. Kebun yang kau tanami berbagai macam sayuran kini mulai berbuah.
Awan hitam yang menutup pelangimu
mulai bergeser. Warna-warni indah terlukis jelas di cakrawala.Kau tersenyum
bahagia dan penuh pesona. Bibirku ikut mengembang, merasakan kebahagiaan yang
nyata dalam dirimu.
@@@
Sepasang mata
itu terbuka. Badan mungil itu masih terbaring lemah di atas kasur. Namun,
senyuman bahagia itu terangkum jelas pada wajah gadis itu.Seorang perempuan
yang sering dipanggilnya ibu masih setia menunggu.
Tunggu! Bukankah
gadis itu adalah dirimu? Rupanya kau telah kembali keduniamu. Kau memeluk
perempuan yang pernah mengandungmu dengan erat. Hangatnya pelukan erat mengalir
sampai dasar jiwamu. Aku bisa merasakannya.
Hari itu, hidup
barumu dimulai. Pelajaran kehidupan yang kau dapat di duniaku telah merubahmu.
Meski cakrawala gelap tertutup awan hitam, namun tetap terlihat cerah di
matamu. Aku yakin kau bahagia dengan perubahanmu itu.
*Nama
pena dari Syauqiya Aina Salsabila.
Penulis
pernah menjuarai lomba sayembara novel
se-Pondok
Pesantren Riyadlul Ulum