Oleh Azmi Nurlatifah
“BRUK”
Suara tangkisan tangan yang mendarat di atas
meja tampak jelas,
“pokoknya aku gak ridho kalau kelas
kita dijadiin bahan taruhan sama kakak kelas 1 GAK RIDHO! ” seru salah satu
murid kelas VIII D.
Dia
ikut mewarnai seriusnya kumpulan dengan ketua murid di kelas yang kebetulan
saat itu sedang tidak ada guru.
“Iya, setuju banget! SANGAT GAK RIDHO, apalagi
taruhannya masalah dengan prilaku kita, iya kita tahu kita nakal tapi kita
masih punya sisi baik dan kita pasti bisa merubah prilaku kita sendiri, gak
butuh orang lain apalagi ada taruhan segala supaya mereka mau rubah kita.”
“Iya..iya”
Semua
anak-anak setuju atas perkataan tadi.
Kelas pun jadi gaduh dan bising di penuhi oleh protes-protes yang dibisikan
oleh perasaan dan pikiran mereka.
“Shutt..
diam, semua diam” Suara lembut Fika ketua murid yang bijaksana berusaha menenangkan suasana.
“Tapi fik, kita ini bukan BARANG, dijadiin
barang taruhan segala, apa sih maksudnya?” Seru Diah selaku murid yang juga
baik namun mendadak berontak karena konflik ini.
“Iya..iya tahu, tapi tolong,
selesaikan semua ini dengan kepala
dingin”.
Semua terkendali lagi, aman, tenang, tak ada
satu orangpun yang berbicara lagi, Fika meluruskan semuanya dan memberikan
saran agar mereka bungkam pendapat terlebih dahulu karena mereka belum mempuyai
100% bukti yang nyata untuk kasus ini.
Sebagian ada yang nyeleneh , mengeluarkan majas ironi di depan kakak
kelas agar mereka sadar atas kesalahannya. Mungkin hal ini sepele menurut
mereka tapi tidak untuk Sabrina dan teman-temannya. Yang memiliki perasaan
cukup sensitif.
@@@
Malam terhapus
oleh biasan cahaya pagi, semua siswa mulai bangun dan pergi ke masjid untuk
melaksanakan shalat subu. Global Islamic school atau terkenal dengan
sebutan GIS adalah sekolah boarding school yang berbasis internasional. Sekolah
ini merupakan sekolah favorit di daerah Semarang yang mungkin hanya orang-orang
berfikiran cerdas dan cekatan yang bisa bersekola di sana.
Teng…teng…
Bel masuk sekolah
berbunyi, Sabrina telah selesai melaksanakan rutinitasnya yang tak lain adalah mandi pagi. Sabrina memang harus mandi sebelum berangkat sekolah,
bagaimanapun situasinya. Menurutnya dalam idiom “better late than never” dia
pegang kuat-kuat idiom itu apalagi untuk mandi, jadi kesiangan atau tidak yang
penting dia mandi. Kali ini ia terlambat lagi, seorang pengurus OSIS telah
berdiri tegap berjaga di gerbang depan kamar untuk menghukum siapa saja yang
terlambat ke sekolah.
Sabrina
melewatinya tanpa menoleh, namun langkahnya tertahan oleh sebuah perkataan dari
pengurus OSIS itu.
“Sabrina! Kau terlambat lagi?” Serunya sambil melontarkan senyuman
sinis.
“Lebih baik terlambat dari pada suka taruhan.” Sindirannya keluar
lagi. Sabrina
memang terkenal khas dengan sindirannya.
Tak jauh di
belakang Sabrina Diah menyusul hendak berbicara.
”Sab kok kamu gitu sih? Kata Fika kan kita di suruh jangan
macam-macam.” Tanya Diah sambil menenteng tasnya.
“Abis dia nyebelin sih, udah
tahu aku kaya gini, mementingkan kebersihan badan terus terlambat karenanya
masih juga di tanya.” Jawabnya dengan nada ngeyel.
“Ah udah, yuk ke kelas nanti kita
benar-benar telat, eh maksudnya telat banget.” Mereka berlari agar guru tidak
datang lebih awal dari mereka.
Bel berbunyi nyaring tanda waktu pulang tiba. Sepulang sekolah nama
Sabrina terlantun di micropon mesjid untuk datang ke kantor OSIS. Selesai mandi
Sabrina tidak terlalu mementingkan
itu, ia malah mandi dahulu, baru setelah itu datang memenuhi panggilan ke
kantor OSIS. Dari luar orang-orang menganggapnya santai, padahal di lubuk
hatinya dia merasakan ketegangan yang sangat luar biasa. Mau tidak mau dia memberanikan diri untuk
masuk ke kantor itu
“Assalamualaikum.” Serunya!
“Walaikumussalam,
masuk Sab!”
Jawab Risa
dari dalam ruangan.
“Aku tahu, aku pasti akan di introgasi.” Gerutu Sabrina pelan
nyaris tidak terdengar.
“Maaf Sab mengganggu
waktu kamu sebentar, saya hanya ingin menanyakan tentang ucapan kamu pagi tadi
tentang taruhan.” Sabrina menarik nafas pelan dan menghembuskan cukup keras.
“Oh, ada yang salah? Itu
benar kan?” Sabrina malah balik bertanya dengan wajah yang santai tanpa dosa.
Maksudnya ingin mencairkan suasana agar ia tidak terlihat gugup di depan
mereka.
Risa dan Zia
pengurus OSIS bagian keamanan saling berbisik sesuatu, Sabrina mencoba menerka
pembicaraan rahasia mereka dari tempat duduknya.
“Begini saja, nanti malam kelasmu kumpul di kelas sama kita.” Kata
Risa dengan wajah yang tenang.
“Baik kak, saya pamit, Assalamualaikum.”
Sabrina bergegas keluar tanpa menunggu jawaban dari salamnya.
@@@
Malam itu bintang bertaburan menghibur tegangnya kumpulan bersama
Andin ketua OSIS, Reva wakil OSIS, Risa dan Zia. Sabrina dan teman-temannya
yang lain sudah duduk rapi menunggu kedatangan mereka. Dari kejauhan tampak
Andin berjalan paling depan di koridor menuju kelas Sabrina.
“Assalamualaikum.” Ucap Andin
“Walaikumsalam.” Jawab para siswi VIII D serempak.
“Sebelum memulai kumpulan ini kita kita
baca bismillah bersama dulu.” Pimpin Reva.
“Bismillahirahmanirrahim.” Serentak.
“Kita sengaja
kumpulin kalian untuk menyelesaikan masalah kesalah
fahaman antara kita. Selama beberapa hari ini kita sering dengar sindiran dari
kalian tentang taruhan, tapi kita gak ngerti
maksudnya apa. sekarang salah satu dari kalian silahkan berbicara tentang
sindiran yang kalian lontarkan pada kami.” Reva mengawali pembicaraan. Semua
diam tidak ada yang berani menjawab. Cukup lama ruang kelas hening tidak ada
suara dari masing-masing orang di ruangan itu.
Sabrina berdiri dengan ragu-ragu, semua mata melihat ke arahnya. Ia
sempat akan duduk lagi namun di tahan oleh Dita yang duduk di sampingnya. Semua
menunggu kalimat yang akan keluar dari bibir Sabrina.
“Kita dapat info kalau kak Zia dan kak Risa
taruhan untuk mengubah prilaku kelas kita yang nakal, dan yang menang akan
menjadi majikan atas yang kalah selama satu hari penuh.” Ucap Sabrina dengan lantang dan tegas.
Zia dan Risa
tersenyum, sedangkan Reva dan Andin menggeleng kepala sambil mendengar
penuturan dari Sabrina. Semua sisiwi kelas VIII D saling pandang, mereka
bingung mengapa mereka tersenyum seperti itu.
“Tuh kan salah paham.” Zia
angkat bicara, ia berdiri dari tempat duduknya dan maju ke depan.
“Kalian dengar dari mana gossip itu? Yang ada
kita bangga sama kelas ini, bukan prilakunya tapikita bisa lihat kok
kreativitas kalian selama ini di balik prilaku kalian, dan kita emang bertaruh,
tapi bukan seperti apa yang Sabrina ucapkan, kita taruhan kalau kalian akan
memenangkan banyak kejuaraan dari lomba PHBI tahun ini, itupun cuma bercanda.” Tutur Zia panjang lebar.
Semua saling
pandang lalu tersenyum malu atas kesalah pahaman
yang mereka besar-besarkan tentang Risa dan Zia. Lalu Fika maju ke depan
menghampiri Zia. Ia meminta maaf atas nama kelas VIII D yang salah faham dan
membuat Zia juga Risa merasa tidak nyaman atas sindiran-sindiran yang mereka
lontarkan tanpa mau mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Fika dan anggota
kelasnya berjanji pada diri mereka sendiri untuk tidak berburuk sangka dan
mudah terpengaruh dengan kabar yang tidak jelas sumbernya. Mereka kapok dan
menyesal atas kesalahan mereka pada kakak kelasnya itu.[]
 |
*Penulis merupakan kelas X di Ponpes Riyadlul ‘Ulum Wadda’wah. Berminat
pada dunia Sastra dan bergabung bersama Komunitas Sastra Matapena Rayon
Tasikmalaya. Cerpen Salah Paham merupakan karyanya yang pertama kali dimuat di
media cetak.
|