Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 07 Maret 2014

Simfoni Rindu



Oleh, Azure Light*

Frekuensi itu masih tetap ada
Menyatu di setiap rekaman nostalgia
Bahkan,
Aku masih merasakan denyut jantung itu
Berdetak semakin lemah
Masa itu tak mungkin terulang
Tawa dan canda itu
Masih menggema pada gendang telingaku
Namun,
Kini hanya mengiris nuraniku
Pilu, menyakitkan
Andai aku tau,
Tentu kan ku ukir cahaya aurora
Pada cakrawala nuranimu
Tak kan ku biarkan awan hitam
Menutup kirana harapmu
Sayang,
Semuanya terlambat !
Hanya siluetmu dan rinduku
Yang ada sekarang !


*Nama pena dari Finnia Nurfauziyah.
Penulis merupakan salah satu anggota matapena.

Ustadzah Zulfa Nurfauziyah: Pencinta Sastra, Pembaca Hebat!



Di tengah segudang aktivitas, Alhamdulillah kami bisa menyempatkan untuk mewawancarai salah satu Ustadzah pengabdian yang sangat tertarik sekali pada dunia literasi semenjak dia duduk di bangku SMP.
            Ustadzah kita satu ini selain mencintai dunia literasi, dia juga sangat senang membaca. Baik itu buku yang ringan untuk dibaca seperti  novel atau pun buku-buku lainya seperti buku motivasi dan wawasan. Sekilas, dia juga bercerita tentang kesenangannya pada dunia literasi sejak SMP. Namun, pada saat itu komunitas Matapena belum ada, sehingga dia tidak bisa menggembangkan bakatnya di dunia literasi. Sehingga baru-baru ini, Ustadzah yang mempunyai senyuman yang khas ini menuturkan kepada kami bahwa dia tengah aktif mengikuti forum-forum literasi di facebook. Hebat ya? Subhanallah aja deh buat Ustadzah Zulfa!
            Oh ya, dari sekian banyak buku yang telah dibacanya, dia sangat menyukai buku-buku karangan Asma Nadia. Karena Asma Nadia memberikan inspirasi tersendiri yang memotivasinya untuk terus membaca dan berkarya. Meskipun begitu, Ustadzah yang berkacamata ini sangat menyukai buku ‘Negri 5 Menara’ karangan Ahmad Fuadi.
            Nah, pasti sahabat Bulumata udah nggak asing lagi ya sama buku yang satu ini? udah pernah baca?  Pastinya udah dong! ya, buku best seller yang kemudian diangkat menjadi film layar lebar. Ceritanya memang sederhana, tentang perjalanan 5 sekawan yang sedang menuntut ilmu di sebuah pondok pesantren di jawa, dalam mencapai cita-cita mereka. Dengan berbekal mantra “man jadda wa jada” mereka bertekad keras dan berjuang besama-sama menghadapi berbagai macam rintangan dan ujian selama mereka mondok disana.
            Ya, demikianlah wawancara singkat kami dengan Ustdzah Zulfa. Semoga saja sahabat Bulumata bisa mendapatkan banyak pengetahuan berharga sekaligus inspirasi untuk kedepannya, dan untuk Ustadzah Zulfa semoga tetap istiqomah dalam menggeluti dunia literasinya. Satu lagi, pesan dari kami untuk sobat-sobat setia pembaca bulumata “ Jangan ngaku pencinta sastra, kalau ngga suka baca! Ok.” Salam Sastra ! Salam Budaya ! (crew matapena)

Santri Juga Bisa Berkarya!



Sebagian orang menganggap bahwasannya santri itu cenderung dianggap kudet, gaptek dan label – label kampungan lainnya. Namun, pada kenyataannya itu bertentangan di zaman yang sudah modern ini. jangan salah lho, santri juga bisa lebih intelek dalam berkreasi terutama dalam bidang sastra. Masih nggak percaya ? tapi ini fakta bukan sekedar cerita!
Aksi Santri dalam Sastra
            Mengkaji kitab, nundutan, dan apa pun istilah-istilah yang sering terdengar tentang santri yang membosankan. Tentunya, tidak menyurutkan semangat mereka dalam berkreatifitas. Walau dianggap kudet, tapi mereka bisa merangkai kata-kata yang indah dan nyastra, yang mampu menghipnotis para pembacanya.
            Ide-ide atau pun gagasan yang mereka tuangkan tentang cerita mereka di pesantren menjadi ciri khas tersendiri dalam karyanya. Pasalnya, tema-tema tersebut sekilas terlihat jenuh dan tak menarik untuk dibaca. Namun, kelihaian mereka dalam mengolah kata tadi membuat bacaan tersebut renyah untuk di santap. Selain itu, cerita-cerita sederhana yang mereka tuangkan mengandung kesan tersendiri di hati para pembacanya dan juga banyak sekali ilmu-ilmu pengetahuan yang mereka campur adukkan sehingga menghasilkan karya-karya yang bermutu, yang tidak hanya sekedar bacaan saja.
            Dan perlu kalian ketahui, forum menulis matapena itu sendiri juga berkembang di kalangan para santri yang gemar menulis. Bukan hanya itu, matapena juga telah menerbitkan banyak buku, yang mana penulisnya itu dari kalangan santri, seperti : santri semelekete,  bola-bola santri, santri baru gede, dilarang jatuh cinta dan lain sebagainya.
Santri Juga Bisa Berkarya !
            Meskipun, santri punya segudang dan seabreg kegiatan dari mulai bangun tidur dan tidur lagi, namun mereka tetap masih bisa berkarya dan berkreatifitas ria.
             Bukan hanya buku saja yang bisa mereka hasilkan, dengan kreatifitas mereka yang nggak ala kadarnya, mereka mapu menggebrak suatu terobosan baru di dunia perfilman. Contohnya  Ahmad fuadi dengan bukunya Negri 5 Menara, beliau dapat mengangkat karyanya yang berlatar belakang santri itu ke layar lebar.
            Tema yang diambil juga cukup sederhana, yaitu tentang kisahnya saat menjadi santri di pondok modern Darussalam Gontor. Film yang di buatnya itu  menarik apresiasi banyak pihak baik itu dari kalangan santri maupun kalangan umum. dan karyanya itu membuatnya dikenal banyak orang serta mendapatkan banyak penghargaan dari berbagai macam media.
            Selain itu, jika dilihat dari latar belakang kebanyakan penulis di Indonesia, zaman sekarang ini dunia perbukuan maupun sastrawan justu banyak yang lahir dari dunia pesantren. Sebut saja Habiburrahman El-Shirazy, Irfan Hidayatullah yang merupakan mantan ketua FLP pusat, dsb. Hal ini karena secara tidak disadari, karena pesantren telah memberi pelajaran mengenai budaya membaca dan menulis, selain itu beragam kisah khas pesantren pun tidak akan pernah habis untuk dipaparkan.
            Menengok sedikit ke dalam ruang lingkup pesantren, pada zaman ini sudah mulai berjamuran beragam komunitas menulis di kalangan santri. Semuanya tidak berjalan secara alamiah lagi, melainkan lebih terencana dan memiliki misi kedepan. Fenomena ini sangat positif dan tentu akan bermanfaat kelak. Karena sudah saatnya para santri yang nantinya jadi kyai juga jago menulis sehingga menelurkan banyak karya yang bisa memberi manfaat bagi orang banyak. Jadi santri tidak hanya jago berdakwah lewat lisan (yang notabene hanya bisa disimak sebentar) tapi juga bisa berdakwah lewat tulisan yag bisa menjangkau kalangan yang lebih luas lagi.
            Lebih jauh, para pelajar di negeri para anbiya yaitu Mesir, kebanyakan dari mereka adalah lulusan pesantren. Selain belajar menghafal Quran, tidak sedikit yang juga berkarya lewat tulisan. Ada yang memilih menjadi penerjemah buku maupun terjun langsung menjadi penulis buku. Jangan salah, jadi penerjemah itu sulitnya minta ampun lho, selain harus hafal terjemah tiap kata, mereka juga dituntut mampu merangkai kata-kata yang diterjemahkan agar enak dibaca, so kudu punya keahlian khusus dong.
            Hal ini selain jadi ajang pembelajaran dan pengalaman, juga berdampak positif bagi biaya hidup mereka selama menjalani studi. Sudah tentu karena pekerjaan semacam itu menghasilkan pundi-pundi rupiah. Sikap seperti ini bukan berjalan secara alami, melainkan sudah dicontohi oleh para dosen dan guru-guru di sana yang sering disapa syeh. Paa syeh ini memang kebanyakan tidak punya lembaga pendidikan, tapi mereka tidak kehilangan spirit untuk berkarya. Dengan menulis karya-karya bernuansa religi, mereka bisa berdakwah lebih luas bahkan hingga mancanegara. Masih inget dong sama bukunya Aidh Al-Qarni yang berjudul “Laa Tahzan” dan “Menjadi Wanita Paling Bahagia”. Wuih super banget ya bukunya, nggak heran kalau best seller.
            Nah, dari pernyataan di atas tadi  sudah membuktikan bahwa santri juga bisa berkarya, yang karyanya bukan hanya sekedar karya sampah yang nggak bermutu. Tetapi justru santri mampu berkarya menghasilkan karya-karya yang sangat bermutu dan sangat di butuhkan di era globalisasi ini!
            So, walaupun santri bukan berarti ngga bisa berkarya kan? Tetap berkarya dan tunjukkan kreatifitasmu! [matapena team]

Kelana dalam Mimpi



Oleh, Salsabila El-Basima*

               Terlalu penat untuk menunggu pelangi hadir . Nampaknya pelangi enggan menghiasi cakrawala biru sore ini, padahal siang tadi bumi telah tersiram oleh rintikkan hujan. Air mukamu muram, tak secerah langit sore hingga kau putuskan untuk pulang ke rumah. Semilir angin sore meniup rambutmu yang hitam legam, menyentuh pipimu dengan manja seakan ingin menghibur kesedihanmu karna pelangi.

              Dalam kebisuanmu, kau pergi tergesa menuju kamar. Ibumu hanya menggelengkan kepala melihat tingkahmu yang tak karuan. Sentimen kecilmu itu terus bertanya. Mengapa pelangi tak hadir? Apakah dia marah padaku karna nilai  ulanganku turun?

               “Ya, pasti pelangi marah padaku!” Gumammu pelan.
              Namun tiba-tiba saja pandanganmu mulai kabur, tatapanmu mulai tak fokus, kunang-kunang terus menari di pelupuk matamu. Tubuh kecilmu perlahan rapuh, lalu tersungkur  diatas kasur tak sadarkan diri. Terlalu penat!

@@@

              Tetesan embun yang menetes pada setiap helaian daun terdengar berirama. Burung-burung bernyanyi dengan penuh harmoni. Mentari tersenyum menyambut hari baru, sinarnya menembus jendela kayu yang terbuka lebar. Membangunkan gadis berambut hitam legam.

              Perlahan matamu terbuka, kau bangkit dari tidurmu yang lelap, berjalan kearah pintu sembari  mengaruk-garuk kepalamu yang tak gatal. Mata jernihmu masih menerawang ke arah pintu. Matamu bersinar seketika. Bibir merahmu mengembang penuh harap.

              “Pelangi yang indah!” Pekikmu girang.

              Sayang, awan hitam enggan membiarkan senyumanmu lebih lama. Awan hitam itu menutup pelangimu yang elok. Kilatan cahaya mulai terdengar menggelegar. Angin berhembus sangat kencang.

              Kau hanya mematung di ambang pintu. Seketika kilatan cahaya itu terlihat jelas tepat di depan retina matamu. Suaranya menggelegar begitu keras. Bibirmu memucat lalu kau masuk ke dalam rumah. Mengunci pintu rapat-rapat.

              Kau berjalan ke arah cermin berukirkan kayu yang indah. Cermin itu memantulkan siluet wajahmu yang mendung. Kau tertegun karnanya. Ah tidak ! dimana kau sekarang ? bukankah kau tak sadarkan diri di kamarmu? Tapi sekarang kau berada di rumah kayu dank kau sama sekali tak mengenal tempat ini. Bagus ! sekarang kau masuk dalam duniaku !  

              Mata ekormu menagkap seorang putri bergaun putri berwarna biru. Kulitnya putih bersih. Kepalanya berhiaskan mahkota berlian. Di punggungnya sepasang sayap putih berbulu lembut. Kau menoleh dengan keterkejutanmu. Kau tahu ? putri yang kau maksud adalah aku.

              “Kemarilah, Natasya!” Panggilku lembut.

              Kau menghamipiriku sembari menatapku ragu.

              “Siapa kau? Dan dimana aku sekarang?” Tanyamu tak sabar. Aku tersenyum menenangkan.

              “Aku adalah peri biru, tugasku adalah menghukummu, dan sekarang kamu berada di rumah kakek William. Dia akan mengajarimu tentang pelajaran kehidupan”  Jelasku.

              “APA? HUKUMAN?” Teriakmu.”Kau bercanda? Aku tak pernah melakukan kesalahan apapun, bukankah aku selalu berbuat baik kepada orang lain? Dan seharusnya kau tahu peri, semua orang menyukaiku karena aku pintar. Jadi untuk apalagi aku belajar pelajaran kehidupan?” Bantahmu dengan keangkuhanmu. Rupanya tabi’at sombong masih melekat dalam dirimu.

              Aku mendengus pelan.

              “Introspeksi dirilah! Pelangi marah, nilai-nilai ujianmu menurun itu karena sifatmu. Natasya, dengar! Jika kamu ingin kembali ke rumah, jalani hukuman ini dengan sabar dan jangan pernah merendahkan orag lain! Aku akan selalu mengawasimu !” Jelasku.

              Kau hanya diam seribu bahasa. Entah apa yang kau pikirkan dalam sentimen kecilmu itu. Namun aku bisa membaca dari pancaran matamu bahwasannya kau kecewa atas dirimu yang telah membuat paelangi marah.

              Tanpa ba-bi-bu aku segera menghilang dari hadapanmu. Kau terkesiap dari lamunanmu tatkala kakek tua yang hampir di makan usia itu menepuk bahumu. Kakek tua menyeringai tulus padamu.

            “Tenanglah cucuku! Kau hanya perlu mengajari warga desa ini membaca dan berkebun selama 1 bulan!.” Cakap kakek.

            Wajahmu kembali berseri.

              “Hanya itu kek? Itu sih terlalu mudah untuk seorang Natasya Wijaya.” Katamu congkak.

@@@

              Hari pertama kau lewati dengan sikap angkuhmu. Mereka yang tak bisa, kau rendahkan dengan setiap kata yang terlontar dari lisanmu. Sentakkan, cacian memenuhi atmosfir rumah kayu yang kau jadikan tempat mengajar warga desa.

              Aku yakin, mereka tak tahan dengan sikapmu itu. Kau memang keras kepala tak mendengarkan nasehatku. Kakek tua yang ingin mengajarimu berkebun pun, kau usir pergi namun dia tetap tersenyum dan meninggalkanmu.

              Belum juga genap dua minggu, kau menyerah. Termenung menatap langit senja yang mulai terganti oleh malam. Butiran bening itu mengalir membasahi pipimu. Sang Kakek datang menghampirimu.

              “Jangan sedih!” Ujarnya padamu.

              Kau hanya tersenyum simpul. Mulutmu mulai bercakap. Mengeluh akan hukuman yang tengah kau jalani. Kau tanya padanya. Namun dia hanya menatapmu iba. Kakek William itu menasehatimu dengan lembut. Kau tertunduk sembari mendengarkannya dia memberitahumu akan tabi’at sombong yang ada pada dirimu dan menceritakan semua tentangmu.

              “Kenapa tak pernah ada yang menegurku?” Tanyamu.

              “Orang-orang di sekitarmu selalu mengurmu Natasya!  Tapi kau tak pernah mendengarkan mereka dan selalu membela dirimu sendiri!” Pipimu memerah.

              “Iya kek! ini kesalahanku, dan aku janji akan berubah” Katamu mantap.

              Kakek William menyeringai bahagia. Janjimu telah ku pegang. Mulai sejak saat itu semua berubah! Kau ajari warga desa dengan penuh kesabaran. Tak ada lagi cemoohan dan sentakan yang biasa memenuhi atmosfer rumah kayu yang hampir roboh dimakan zaman. Kebun yang kau tanami berbagai macam sayuran kini mulai berbuah.

  Awan hitam yang menutup pelangimu mulai bergeser. Warna-warni indah terlukis jelas di cakrawala.Kau tersenyum bahagia dan penuh pesona. Bibirku ikut mengembang, merasakan kebahagiaan yang nyata dalam dirimu.

@@@

              Sepasang mata itu terbuka. Badan mungil itu masih terbaring lemah di atas kasur. Namun, senyuman bahagia itu terangkum jelas pada wajah gadis itu.Seorang perempuan yang sering dipanggilnya ibu masih setia menunggu.

              Tunggu! Bukankah gadis itu adalah dirimu? Rupanya kau telah kembali keduniamu. Kau memeluk perempuan yang pernah mengandungmu dengan erat. Hangatnya pelukan erat mengalir sampai dasar jiwamu. Aku bisa merasakannya.

              Hari itu, hidup barumu dimulai. Pelajaran kehidupan yang kau dapat di duniaku telah merubahmu. Meski cakrawala gelap tertutup awan hitam, namun tetap terlihat cerah di matamu. Aku yakin kau bahagia dengan perubahanmu itu.

*Nama pena dari Syauqiya Aina Salsabila.

Penulis pernah menjuarai lomba sayembara novel 
  se-Pondok Pesantren Riyadlul Ulum