Sebagian orang menganggap bahwasannya
santri itu cenderung dianggap kudet, gaptek dan label – label kampungan
lainnya. Namun, pada kenyataannya itu bertentangan di zaman yang sudah modern
ini. jangan salah lho, santri juga bisa lebih intelek dalam berkreasi terutama
dalam bidang sastra. Masih nggak percaya ? tapi ini fakta bukan sekedar cerita!
Aksi
Santri dalam Sastra
Mengkaji kitab, nundutan, dan
apa pun istilah-istilah yang sering terdengar tentang santri yang membosankan.
Tentunya, tidak menyurutkan semangat mereka dalam berkreatifitas. Walau
dianggap kudet, tapi mereka bisa merangkai kata-kata yang indah dan nyastra,
yang mampu menghipnotis para pembacanya.
Ide-ide atau
pun gagasan yang mereka tuangkan tentang cerita mereka di pesantren menjadi
ciri khas tersendiri dalam karyanya. Pasalnya, tema-tema tersebut sekilas
terlihat jenuh dan tak menarik untuk dibaca. Namun, kelihaian mereka dalam
mengolah kata tadi membuat bacaan tersebut renyah untuk di santap. Selain itu, cerita-cerita
sederhana yang mereka tuangkan mengandung kesan tersendiri di hati para
pembacanya dan juga banyak sekali ilmu-ilmu pengetahuan yang mereka campur
adukkan sehingga menghasilkan karya-karya yang bermutu, yang tidak hanya
sekedar bacaan saja.
Dan perlu
kalian ketahui, forum menulis matapena itu sendiri juga berkembang di kalangan
para santri yang gemar menulis. Bukan hanya itu, matapena juga telah
menerbitkan banyak buku, yang mana penulisnya itu dari kalangan santri, seperti
: santri semelekete, bola-bola santri,
santri baru gede, dilarang jatuh cinta dan lain sebagainya.
Santri
Juga Bisa Berkarya !
Meskipun,
santri punya segudang dan seabreg kegiatan dari mulai bangun tidur dan
tidur lagi, namun mereka tetap masih bisa berkarya dan berkreatifitas ria.
Bukan hanya buku saja yang bisa mereka
hasilkan, dengan kreatifitas mereka yang nggak ala kadarnya, mereka mapu
menggebrak suatu terobosan baru di dunia perfilman. Contohnya Ahmad fuadi dengan bukunya Negri 5 Menara,
beliau dapat mengangkat karyanya yang berlatar belakang santri itu ke layar
lebar.
Tema yang
diambil juga cukup sederhana, yaitu tentang kisahnya saat menjadi santri di
pondok modern Darussalam Gontor. Film yang di buatnya itu menarik apresiasi banyak pihak baik itu dari kalangan
santri maupun kalangan umum. dan karyanya itu membuatnya dikenal banyak orang
serta mendapatkan banyak penghargaan dari berbagai macam media.
Selain itu,
jika dilihat dari latar belakang kebanyakan penulis di Indonesia, zaman
sekarang ini dunia perbukuan maupun sastrawan justu banyak yang lahir dari
dunia pesantren. Sebut saja Habiburrahman El-Shirazy, Irfan Hidayatullah yang
merupakan mantan ketua FLP pusat, dsb. Hal ini karena secara tidak disadari,
karena pesantren telah memberi pelajaran mengenai budaya membaca dan menulis,
selain itu beragam kisah khas pesantren pun tidak akan pernah habis untuk
dipaparkan.
Menengok
sedikit ke dalam ruang lingkup pesantren, pada zaman ini sudah mulai berjamuran
beragam komunitas menulis di kalangan santri. Semuanya tidak berjalan secara
alamiah lagi, melainkan lebih terencana dan memiliki misi kedepan. Fenomena ini
sangat positif dan tentu akan bermanfaat kelak. Karena sudah saatnya para
santri yang nantinya jadi kyai juga jago menulis sehingga menelurkan banyak
karya yang bisa memberi manfaat bagi orang banyak. Jadi santri tidak hanya jago
berdakwah lewat lisan (yang notabene hanya bisa disimak sebentar) tapi juga
bisa berdakwah lewat tulisan yag bisa menjangkau kalangan yang lebih luas lagi.
Lebih jauh,
para pelajar di negeri para anbiya yaitu Mesir, kebanyakan dari mereka adalah
lulusan pesantren. Selain belajar menghafal Quran, tidak sedikit yang juga
berkarya lewat tulisan. Ada yang memilih menjadi penerjemah buku maupun terjun
langsung menjadi penulis buku. Jangan salah, jadi penerjemah itu sulitnya minta
ampun lho, selain harus hafal terjemah tiap kata, mereka juga dituntut mampu
merangkai kata-kata yang diterjemahkan agar enak dibaca, so kudu punya keahlian
khusus dong.
Hal ini
selain jadi ajang pembelajaran dan pengalaman, juga berdampak positif bagi
biaya hidup mereka selama menjalani studi. Sudah tentu karena pekerjaan semacam
itu menghasilkan pundi-pundi rupiah. Sikap seperti ini bukan berjalan secara
alami, melainkan sudah dicontohi oleh para dosen dan guru-guru di sana yang
sering disapa syeh. Paa syeh ini memang kebanyakan tidak punya lembaga
pendidikan, tapi mereka tidak kehilangan spirit untuk berkarya. Dengan menulis
karya-karya bernuansa religi, mereka bisa berdakwah lebih luas bahkan hingga mancanegara.
Masih inget dong sama bukunya Aidh Al-Qarni yang berjudul “Laa Tahzan” dan
“Menjadi Wanita Paling Bahagia”. Wuih super banget ya bukunya, nggak heran
kalau best seller.
Nah, dari
pernyataan di atas tadi sudah
membuktikan bahwa santri juga bisa berkarya, yang karyanya bukan hanya sekedar
karya sampah yang nggak bermutu. Tetapi justru santri mampu berkarya
menghasilkan karya-karya yang sangat bermutu dan sangat di butuhkan di era
globalisasi ini!
So, walaupun
santri bukan berarti ngga bisa berkarya kan? Tetap berkarya dan tunjukkan
kreatifitasmu! [matapena team]
izin share kang
BalasHapus