Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 07 Maret 2014

Kelana dalam Mimpi



Oleh, Salsabila El-Basima*

               Terlalu penat untuk menunggu pelangi hadir . Nampaknya pelangi enggan menghiasi cakrawala biru sore ini, padahal siang tadi bumi telah tersiram oleh rintikkan hujan. Air mukamu muram, tak secerah langit sore hingga kau putuskan untuk pulang ke rumah. Semilir angin sore meniup rambutmu yang hitam legam, menyentuh pipimu dengan manja seakan ingin menghibur kesedihanmu karna pelangi.

              Dalam kebisuanmu, kau pergi tergesa menuju kamar. Ibumu hanya menggelengkan kepala melihat tingkahmu yang tak karuan. Sentimen kecilmu itu terus bertanya. Mengapa pelangi tak hadir? Apakah dia marah padaku karna nilai  ulanganku turun?

               “Ya, pasti pelangi marah padaku!” Gumammu pelan.
              Namun tiba-tiba saja pandanganmu mulai kabur, tatapanmu mulai tak fokus, kunang-kunang terus menari di pelupuk matamu. Tubuh kecilmu perlahan rapuh, lalu tersungkur  diatas kasur tak sadarkan diri. Terlalu penat!

@@@

              Tetesan embun yang menetes pada setiap helaian daun terdengar berirama. Burung-burung bernyanyi dengan penuh harmoni. Mentari tersenyum menyambut hari baru, sinarnya menembus jendela kayu yang terbuka lebar. Membangunkan gadis berambut hitam legam.

              Perlahan matamu terbuka, kau bangkit dari tidurmu yang lelap, berjalan kearah pintu sembari  mengaruk-garuk kepalamu yang tak gatal. Mata jernihmu masih menerawang ke arah pintu. Matamu bersinar seketika. Bibir merahmu mengembang penuh harap.

              “Pelangi yang indah!” Pekikmu girang.

              Sayang, awan hitam enggan membiarkan senyumanmu lebih lama. Awan hitam itu menutup pelangimu yang elok. Kilatan cahaya mulai terdengar menggelegar. Angin berhembus sangat kencang.

              Kau hanya mematung di ambang pintu. Seketika kilatan cahaya itu terlihat jelas tepat di depan retina matamu. Suaranya menggelegar begitu keras. Bibirmu memucat lalu kau masuk ke dalam rumah. Mengunci pintu rapat-rapat.

              Kau berjalan ke arah cermin berukirkan kayu yang indah. Cermin itu memantulkan siluet wajahmu yang mendung. Kau tertegun karnanya. Ah tidak ! dimana kau sekarang ? bukankah kau tak sadarkan diri di kamarmu? Tapi sekarang kau berada di rumah kayu dank kau sama sekali tak mengenal tempat ini. Bagus ! sekarang kau masuk dalam duniaku !  

              Mata ekormu menagkap seorang putri bergaun putri berwarna biru. Kulitnya putih bersih. Kepalanya berhiaskan mahkota berlian. Di punggungnya sepasang sayap putih berbulu lembut. Kau menoleh dengan keterkejutanmu. Kau tahu ? putri yang kau maksud adalah aku.

              “Kemarilah, Natasya!” Panggilku lembut.

              Kau menghamipiriku sembari menatapku ragu.

              “Siapa kau? Dan dimana aku sekarang?” Tanyamu tak sabar. Aku tersenyum menenangkan.

              “Aku adalah peri biru, tugasku adalah menghukummu, dan sekarang kamu berada di rumah kakek William. Dia akan mengajarimu tentang pelajaran kehidupan”  Jelasku.

              “APA? HUKUMAN?” Teriakmu.”Kau bercanda? Aku tak pernah melakukan kesalahan apapun, bukankah aku selalu berbuat baik kepada orang lain? Dan seharusnya kau tahu peri, semua orang menyukaiku karena aku pintar. Jadi untuk apalagi aku belajar pelajaran kehidupan?” Bantahmu dengan keangkuhanmu. Rupanya tabi’at sombong masih melekat dalam dirimu.

              Aku mendengus pelan.

              “Introspeksi dirilah! Pelangi marah, nilai-nilai ujianmu menurun itu karena sifatmu. Natasya, dengar! Jika kamu ingin kembali ke rumah, jalani hukuman ini dengan sabar dan jangan pernah merendahkan orag lain! Aku akan selalu mengawasimu !” Jelasku.

              Kau hanya diam seribu bahasa. Entah apa yang kau pikirkan dalam sentimen kecilmu itu. Namun aku bisa membaca dari pancaran matamu bahwasannya kau kecewa atas dirimu yang telah membuat paelangi marah.

              Tanpa ba-bi-bu aku segera menghilang dari hadapanmu. Kau terkesiap dari lamunanmu tatkala kakek tua yang hampir di makan usia itu menepuk bahumu. Kakek tua menyeringai tulus padamu.

            “Tenanglah cucuku! Kau hanya perlu mengajari warga desa ini membaca dan berkebun selama 1 bulan!.” Cakap kakek.

            Wajahmu kembali berseri.

              “Hanya itu kek? Itu sih terlalu mudah untuk seorang Natasya Wijaya.” Katamu congkak.

@@@

              Hari pertama kau lewati dengan sikap angkuhmu. Mereka yang tak bisa, kau rendahkan dengan setiap kata yang terlontar dari lisanmu. Sentakkan, cacian memenuhi atmosfir rumah kayu yang kau jadikan tempat mengajar warga desa.

              Aku yakin, mereka tak tahan dengan sikapmu itu. Kau memang keras kepala tak mendengarkan nasehatku. Kakek tua yang ingin mengajarimu berkebun pun, kau usir pergi namun dia tetap tersenyum dan meninggalkanmu.

              Belum juga genap dua minggu, kau menyerah. Termenung menatap langit senja yang mulai terganti oleh malam. Butiran bening itu mengalir membasahi pipimu. Sang Kakek datang menghampirimu.

              “Jangan sedih!” Ujarnya padamu.

              Kau hanya tersenyum simpul. Mulutmu mulai bercakap. Mengeluh akan hukuman yang tengah kau jalani. Kau tanya padanya. Namun dia hanya menatapmu iba. Kakek William itu menasehatimu dengan lembut. Kau tertunduk sembari mendengarkannya dia memberitahumu akan tabi’at sombong yang ada pada dirimu dan menceritakan semua tentangmu.

              “Kenapa tak pernah ada yang menegurku?” Tanyamu.

              “Orang-orang di sekitarmu selalu mengurmu Natasya!  Tapi kau tak pernah mendengarkan mereka dan selalu membela dirimu sendiri!” Pipimu memerah.

              “Iya kek! ini kesalahanku, dan aku janji akan berubah” Katamu mantap.

              Kakek William menyeringai bahagia. Janjimu telah ku pegang. Mulai sejak saat itu semua berubah! Kau ajari warga desa dengan penuh kesabaran. Tak ada lagi cemoohan dan sentakan yang biasa memenuhi atmosfer rumah kayu yang hampir roboh dimakan zaman. Kebun yang kau tanami berbagai macam sayuran kini mulai berbuah.

  Awan hitam yang menutup pelangimu mulai bergeser. Warna-warni indah terlukis jelas di cakrawala.Kau tersenyum bahagia dan penuh pesona. Bibirku ikut mengembang, merasakan kebahagiaan yang nyata dalam dirimu.

@@@

              Sepasang mata itu terbuka. Badan mungil itu masih terbaring lemah di atas kasur. Namun, senyuman bahagia itu terangkum jelas pada wajah gadis itu.Seorang perempuan yang sering dipanggilnya ibu masih setia menunggu.

              Tunggu! Bukankah gadis itu adalah dirimu? Rupanya kau telah kembali keduniamu. Kau memeluk perempuan yang pernah mengandungmu dengan erat. Hangatnya pelukan erat mengalir sampai dasar jiwamu. Aku bisa merasakannya.

              Hari itu, hidup barumu dimulai. Pelajaran kehidupan yang kau dapat di duniaku telah merubahmu. Meski cakrawala gelap tertutup awan hitam, namun tetap terlihat cerah di matamu. Aku yakin kau bahagia dengan perubahanmu itu.

*Nama pena dari Syauqiya Aina Salsabila.

Penulis pernah menjuarai lomba sayembara novel 
  se-Pondok Pesantren Riyadlul Ulum   

0 komentar:

Posting Komentar