Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 19 Februari 2014

Filantropi Mama

Oleh, Prajurit Pena*



          “Ahrgh! Allah itu ngga adil ma!” Pekik seorang anak laki-laki yang berusia sekitar 10 tahun itu sembari membanting barang-barang disekitarnya. Wanita yang mempunyai paras lembut berdiri didekatnya. Memandangnya iba.
            Anak laki-laki itu bernama Aldi, Aldi terus menjerit, mengamuk melontarkan sumpah serapah. Bola matanya yang hitam itu memancarkan harapan dari dalam lubuk hatinya. Aldi tersungkur rapuh diatas lantai. Nafasnyanya mulai teratur pasti. Aldi diam seribu bahasa, dia tak lagi menjerit dan melontarkan sumpah serapahnya lagi.
            Wanita yang mempunyai paras lembut tadi menghampirinya, mengusap rambutnya yang berkeringat dan mengecup keningnya.Tetesan bening mulai mengalir dari kelopak mata wanita itu, tetesan itu jatuh membasahi pipi Aldi.
            “Mama nangis?” Tanya Aldi lembut
            “Ngga sayang, Aldi dengarkan mama ya nak. Allah itu Maha adil, Allah sayang sama Aldi, apa yang Aldi alami sekarang ini adalah ujian dari Allah, jadi Aldi harus menerimanya dengan lapang dada.” Jelas wanita yang dipanggilnya “mama” itu.
            Aldi bungkam.
            Pikirannnya terhempas, terpelanting dan terbenam menuju masa itu. Masa yang telah mematahkan kedua sayapnya, kecelakaan 5 tahun lalu telah menghancurkan setiap mimpi-mimpinya. Setiap fragmen hidupnya mulai berubah, gelap tak berwarna. Tak ada canda dan tawa lagi.
@@@
            “Aldi, Aldi!” Panggil mama.
            Dengan perlahan Aldi melangkah pasti, menuruni setiap anak tangga. Berjalan menerusuri setiap ruangan demi ruangan. Tapi sayang, langkah Aldi seperti anak kecil yang sedang belajar berjalan. Berulang kali dia terjatuh, tersandung dan terkadang menabrak dinding yang ada di hadapannya. Namun itu tak jadi masalah baginya, dia sudah terbiasa. Aldi terus berjalan mencari suara sang mama.
`           “Ada apa, ma?” Tanya Aldi. Mama menghamipirinya.
            “Ayo ikut mama!” Ajak mama lembut. Dituntunnya tangan Aldi dan mengajaknya menuju suatu ruangan. Ruanga itu cukup berdebu, usang tak terurus. Jaring laba-laba menghiasi setiap sudut ruangan. Ruangan tua!
            “Duduklah” Pinta mama.
             Aldi pun duduk diatas kursi yang sudah tak asing lagi baginya. Matanya mulai mengerjap-ngerjap, tangannya mulai meraba-raba.
            “Ma, ini piano?” Tanya Aldi pelan, “Untuk apa mama ngajak Aldi kesini?”
            “Iya itu piano, mama ingin mendengar kamu memainkan piano lagi seperti waktu itu, mama kangen permainan piano kamu”.
            Aldi tersenyum kecil. Tidak, bukan tersenyum seperti biasanya, Aldi tersenyum pahit.
            “Itu dulu ma, apa mama lupa kalau Aldi sekarang ini buta?” Ujar Aldi pasrah.
            “Cukup nak, jangan terus menyalahkan keadaan, Aldi apa kamu lupa nasehat ayah sebelum dia meninggal?”
             Nasehat ayah?
            Aldi kembali larut pada nostalgia masa lampau yang telah menjadi sejarah pahit pada prasasti nuraninya. Aldi tertegun. Insiden 5 tahun lalu itu menjadi mimpi buruk dalam hidupnya. Insiden itu membuat dia harus kehilangan ayah dan penglihatannya.
            “Aldi, keterbatasan bukan akhir dari segalanya! apapun keadaan kamu, kamu harus tetap punya mimpi”.
            Ah nasehat itu !
            Rangkain kata itu, tiba-tiba saja terdengar nyaring melewati gendang telingannya. Senyuman bijak yang tercipta dari raut wajah ayah yang berwibawa itu tiba-tiba hadir di depan pelupuk matanya.
            “Aldi!” Tegur mama.
            Aldi terkesiap, tersadar dari lamunannya.
            “Iya ma, Aldi ingat” Gumamnya lirih, nyaris hampir tak terdengar.
            Perlahan jemarinya menyentuh piano tua itu, nada yang harmoni mulai tercipta. Setiap alunannya penuh makna. Aldi merasa sangat jauh berberda. Dirinya yang dulu serasa terlahir kembali. Penglihatannya yang buta ternyarta tak menghapuskan talenta dalam dirinya.
            Kedua mata mama bersinar, terpukau akan permainan Aldi yang begitu profesional. Setiap jemarinya yang bergerak lincah menggambarkan bahwasannya Aldi menikmati permainannya. Air mukanya yang semula keruh berubah seketika, dengan senyumanya yang khas. Hari itu  kedua sayapnya yang patah mulai tumbuh. Mimpi-mimpinya dulu mulai hadir kembali di tengah kehidupannya yang sulit.
@@@
            Suara tepuk tangan para penonton bergema meramaikan alua kompetisi  musik Nasional. Suara mikrofon mulai kembali bergeming, pembawa acara memanggil nomor urut peserta selanjutnya.
            Seorang laki-laki muda dengan jas hitamnya melangkah menuju panggung utama. Laki-laki itu tersenyum ke arah ratusan penonton yang hadir pada kompetisi itu. Badannya membungkuk untuk memberi hormat lalu duduk ditempat yang telah disediakkan.
            Aula yang semula gempar oleh antusias para penonton mulai hening. Lantunan irama mulai beralun syahdu, dentingan suara piano terdengar harmoni. Semua mata terpana, tersihir seketika.
            Wanita yang hampir separuh baya itu tersenyum bangga, butiran-butiran bening sejak tadi terjatuh membasahi kulit pipinya yang menua. Wanita itu menangis bukan karna dia tengah bersedih, wanita itu menangis bangga.
            Dentingan suara disetiap melodi yang tercipta membuatnya bernostalgia dengan masa lalu. Anak laki-lakinya yang dulu selalu mengamuk, bersumpah serapah tak karuan, yang dulu kehilangan semangatnya, kini telah tumbuh menjadi pemuda yang tampan. Anak laki-laki itu kini tampil di hadapannya.
            Nada-nada yang tercipta tulus dari nurani akan terdengar lebih harmoni. Penampilan yang indah itu membuat setiap orang yang hadir takjub dibuatnya. Makna yang terkandung tersampaikan langsung pada kalbu. Andai dapat dilukiskan dengan kata mungkin tak akan cukup mengutarakannnya.
            Simfoni alunan itu terhenti dengan indah. Suara hening seketika. Laki-laki itu tersenyum lalu turun meninggalkan panggung. Suara riuh tepuk tangan dan sorak- sorai penonton mulai terdengar. Mereka puas akan tampilannya.
            “Baiklah, tiba saatnya pengumuman kejuaraan“ Kata pembawa acara mengawali pembicaraannya. Detak jantung para peserta mulai berdetak tak karuan, mungkin jika setap peserta dipasang pengeras suar dijantungnya detak jantung itu akan terdengar keras layaknya bom yang menghancurkan kota Hiroshima dan Nagashaki.
            “Baik, kita panggil sang juara kita di kompetisi musik Nasional ini, ALDI SAPUTRA” Pekiknya.
            Aula kembali riuh dengan sorak-sorai beserta tepuk tangan penonton. Laki-laki berajas hitam itu kembali naik keatas panggung. Dia tersenyum bangga. Kedua sayapnya terbentang lebar. Dengan piala yang telah di genggamnya, Aldi mengangkat suara, dia mulai berbicara.
“Alhamdulillah, tak lupa saya ucapkan terimakasih pada orang yang selalu sabar mendidik saya, yang telah mengajari bahwa keterbatasan yang saya miliki bukan suatu halangan untuk menjadi juara.” Katanya panjang lebar. Matanya mulai basah, air matanya sudah mulai tak terbendung lagi.
            “Mama, terimakasih!” Ucapnya lirih, tetesan bening itu terus mengalir membanjiri nuraninya.
            Wanita yang mempunyai paras lembut itu datang, menghampiri seraya memeluknya erat. Air matanya juga ikut terjatuh membasahi pipi Aldi. Tidak! ternyata bukan hanya mereka saja yang menangis, setiap orang yang hadir di aula itu seakan terhipnotis. Air mata mereka terjatuh!
            Dan pada hari itu, di antara tangis haru datang sebuah keajaiban. Keajaiban yang musykil bagi manusia, namun tidak untuk Sang Pencipta. Semua insan menyaksikan bagaimana keajaiban itu tercipta.
            Tatkala Aldi menyeka air matanya yang terus mengalir, perlahan dia membuka matanya. Ah! sungguh, Aldi kini bisa melihat dirinya berada diatas panggung megah yang dimana ratusan penonton menyaksikannya.
            Aldi menoleh.
            Senyuman tulus sang mama tercipta dari bibirnya, untuk kedua kalinya dia memeluk sang mama.
            “Mama kau tau? sekarang Aldi bisa melihat” Bisiknya lirih. Sang mama tertegun karenanya. Ditatapnya leket-lekat anak lelakinya itu.
            Kedua alisnya mengerut,
            “Aldi nggak lagi bohong kan sama mama?“ Tanya mama tak percaya.
            Aldi menggeleng pelan.
            “Nggak ma, Aldi serius!“ Jawabnya sembarti menyeringai. Kemudian Aldi berjalan ke arah para juri, Aldi berdiri di sana, tepat di samping juri yang menilai penampilannya.
            “Lihat ma! Aku berdiri disamping juri yang menilaiku, aku sekarang bisa melihat lagi!” Pekik Aldi.
            Mama masih tertegun. Namun senyuman mama pun mengembang, dan semua orang yang hadir di aula itu kembali takjub oleh Aldi. Mereka menjadi saksi atas keajaiban yang baru saja terjadi.
            Aldi percaya bahwa mimpi adalah harapan yang  tak pernah tidur.[]

0 komentar:

Posting Komentar