Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 16 Juli 2013

Salah Paham




Oleh Azmi Nurlatifah

“BRUK”
Suara tangkisan tangan yang mendarat di atas meja tampak jelas,
“pokoknya aku gak ridho kalau kelas kita dijadiin bahan taruhan sama kakak kelas 1 GAK RIDHO! ” seru salah satu murid kelas VIII D.
 Dia ikut mewarnai seriusnya kumpulan dengan ketua murid di kelas yang kebetulan saat itu sedang tidak ada guru.
“Iya, setuju banget! SANGAT GAK RIDHO, apalagi taruhannya masalah dengan prilaku kita, iya kita tahu kita nakal tapi kita masih punya sisi baik dan kita pasti bisa merubah prilaku kita sendiri, gak butuh orang lain apalagi ada taruhan segala supaya mereka mau rubah kita.”
Iya..iya”
Semua  anak-anak setuju atas perkataan tadi. Kelas pun jadi gaduh dan bising di penuhi oleh protes-protes yang dibisikan oleh perasaan dan pikiran mereka.
            Shutt.. diam, semua diam” Suara lembut Fika ketua murid yang  bijaksana berusaha menenangkan suasana.
“Tapi fik, kita ini bukan BARANG, dijadiin barang taruhan segala, apa sih maksudnya?” Seru Diah selaku murid yang juga baik namun mendadak berontak karena konflik ini.
Iya..iya tahu, tapi tolong, selesaikan semua ini dengan kepala dingin”.
Semua terkendali lagi, aman, tenang, tak ada satu orangpun yang berbicara lagi, Fika meluruskan semuanya dan memberikan saran agar mereka bungkam pendapat terlebih dahulu karena mereka belum mempuyai 100% bukti yang nyata untuk kasus ini.
Sebagian ada yang nyeleneh , mengeluarkan majas ironi di depan kakak kelas agar mereka sadar atas kesalahannya. Mungkin hal ini sepele menurut mereka tapi tidak untuk Sabrina dan teman-temannya. Yang memiliki perasaan cukup sensitif.
@@@
            Malam terhapus oleh biasan cahaya pagi, semua siswa mulai bangun dan pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat subu. Global Islamic school atau terkenal dengan sebutan GIS adalah sekolah boarding school yang berbasis internasional. Sekolah ini merupakan sekolah favorit di daerah Semarang yang mungkin hanya orang-orang berfikiran cerdas dan cekatan yang bisa bersekola di sana.
Teng…teng…
            Bel masuk sekolah berbunyi, Sabrina telah selesai melaksanakan rutinitasnya yang tak lain adalah mandi pagi. Sabrina memang harus mandi sebelum berangkat sekolah, bagaimanapun situasinya. Menurutnya dalam idiom “better late than never” dia pegang kuat-kuat idiom itu apalagi untuk mandi, jadi kesiangan atau tidak yang penting dia mandi. Kali ini ia terlambat lagi, seorang pengurus OSIS telah berdiri tegap berjaga di gerbang depan kamar untuk menghukum siapa saja yang terlambat ke sekolah.
            Sabrina melewatinya tanpa menoleh, namun langkahnya tertahan oleh sebuah perkataan dari pengurus OSIS itu.
“Sabrina! Kau terlambat lagi?” Serunya sambil melontarkan senyuman sinis.
“Lebih baik terlambat dari pada suka taruhan.” Sindirannya keluar lagi. Sabrina memang terkenal khas dengan sindirannya.
            Tak jauh di belakang Sabrina Diah menyusul hendak berbicara.
”Sab kok kamu gitu sih? Kata Fika kan kita di suruh jangan macam-macam.” Tanya Diah sambil menenteng tasnya.
 “Abis dia nyebelin sih, udah tahu aku kaya gini, mementingkan kebersihan badan terus terlambat karenanya masih juga di tanya.” Jawabnya dengan nada ngeyel.
“Ah udah, yuk ke kelas nanti kita benar-benar telat, eh maksudnya telat banget.” Mereka berlari agar guru tidak datang lebih awal dari mereka.
Bel berbunyi nyaring tanda waktu pulang tiba. Sepulang sekolah nama Sabrina terlantun di micropon mesjid untuk datang ke kantor OSIS. Selesai mandi Sabrina tidak terlalu mementingkan itu, ia malah mandi dahulu, baru setelah itu datang memenuhi panggilan ke kantor OSIS. Dari luar orang-orang menganggapnya santai, padahal di lubuk hatinya dia merasakan ketegangan yang sangat luar biasa.    Mau tidak mau dia memberanikan diri untuk masuk ke kantor itu                                                                                                       
Assalamualaikum.” Serunya!
“Walaikumussalam, masuk Sab!” Jawab Risa dari dalam ruangan.
“Aku tahu, aku pasti akan di introgasi.” Gerutu Sabrina pelan nyaris tidak terdengar.
“Maaf Sab mengganggu waktu kamu sebentar, saya hanya ingin menanyakan tentang ucapan kamu pagi tadi tentang taruhan.” Sabrina menarik nafas pelan dan menghembuskan cukup keras.
 “Oh, ada yang salah? Itu benar kan?” Sabrina malah balik bertanya dengan wajah yang santai tanpa dosa. Maksudnya ingin mencairkan suasana agar ia tidak terlihat gugup di depan mereka.
            Risa dan Zia pengurus OSIS bagian keamanan saling berbisik sesuatu, Sabrina mencoba menerka pembicaraan rahasia mereka dari tempat duduknya.
“Begini saja, nanti malam kelasmu kumpul di kelas sama kita.” Kata Risa dengan wajah yang tenang.
 “Baik kak, saya pamit, Assalamualaikum.” Sabrina bergegas keluar tanpa menunggu jawaban dari salamnya.
@@@
                Malam itu bintang bertaburan menghibur tegangnya kumpulan bersama Andin ketua OSIS, Reva wakil OSIS, Risa dan Zia. Sabrina dan teman-temannya yang lain sudah duduk rapi menunggu kedatangan mereka. Dari kejauhan tampak Andin berjalan paling depan di koridor menuju kelas Sabrina.
“Assalamualaikum.” Ucap Andin
“Walaikumsalam.” Jawab para siswi VIII D serempak.
“Sebelum memulai kumpulan ini kita kita baca bismillah bersama dulu.” Pimpin Reva.
“Bismillahirahmanirrahim.” Serentak.
            “Kita sengaja kumpulin kalian untuk menyelesaikan masalah kesalah fahaman antara kita. Selama beberapa hari ini kita sering dengar sindiran dari kalian tentang taruhan, tapi kita gak ngerti maksudnya apa. sekarang salah satu dari kalian silahkan berbicara tentang sindiran yang kalian lontarkan pada kami.” Reva mengawali pembicaraan. Semua diam tidak ada yang berani menjawab. Cukup lama ruang kelas hening tidak ada suara dari masing-masing orang di ruangan itu.
                Sabrina berdiri dengan ragu-ragu, semua mata melihat ke arahnya. Ia sempat akan duduk lagi namun di tahan oleh Dita yang duduk di sampingnya. Semua menunggu kalimat yang akan keluar dari bibir Sabrina.
“Kita dapat info kalau kak Zia dan kak Risa taruhan untuk mengubah prilaku kelas kita yang nakal, dan yang menang akan menjadi majikan atas yang kalah selama satu hari penuh.” Ucap Sabrina dengan lantang dan tegas.
            Zia dan Risa tersenyum, sedangkan Reva dan Andin menggeleng kepala sambil mendengar penuturan dari Sabrina. Semua sisiwi kelas VIII D saling pandang, mereka bingung mengapa mereka tersenyum seperti itu.
“Tuh kan salah paham.” Zia angkat bicara, ia berdiri dari tempat duduknya dan maju ke depan.
“Kalian dengar dari mana gossip itu? Yang ada kita bangga sama kelas ini, bukan prilakunya tapikita bisa lihat kok kreativitas kalian selama ini di balik prilaku kalian, dan kita emang bertaruh, tapi bukan seperti apa yang Sabrina ucapkan, kita taruhan kalau kalian akan memenangkan banyak kejuaraan dari lomba PHBI tahun ini, itupun cuma bercanda.” Tutur Zia panjang lebar.
            Semua saling pandang lalu tersenyum malu atas kesalah pahaman yang mereka besar-besarkan tentang Risa dan Zia. Lalu Fika maju ke depan menghampiri Zia. Ia meminta maaf atas nama kelas VIII D yang salah faham dan membuat Zia juga Risa merasa tidak nyaman atas sindiran-sindiran yang mereka lontarkan tanpa mau mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
            Fika dan anggota kelasnya berjanji pada diri mereka sendiri untuk tidak berburuk sangka dan mudah terpengaruh dengan kabar yang tidak jelas sumbernya. Mereka kapok dan menyesal atas kesalahan mereka pada kakak kelasnya itu.[]


*Penulis merupakan kelas X  di Ponpes Riyadlul ‘Ulum Wadda’wah. Berminat pada dunia Sastra dan bergabung bersama Komunitas Sastra Matapena Rayon Tasikmalaya. Cerpen Salah Paham merupakan karyanya yang pertama kali dimuat di media cetak.




0 komentar:

Posting Komentar