Oleh Rina Nursamsyiah
Dragg.....!!!!!!
suara pintu yang ku dorong sekuat tenaga. Aku
melentangkan tubuhku di atas kasur. Kata-kata orang tuaku yang masih mendengung
di telingaku. Aku tidak mengerti mengapa orang tuaku bersikeras menyuruhku
untuk melanjutkan sekolah ke pesantren. Aku kesal kepada orang tuaku, aku
merasa orang tuaku tidak menyayangi diriku. Apa merka ingin membuangku? seribu
pertanyaan memenuhi otakku.
Keesokan harinya orang tuaku kembali
membicarakan soal sekolahku. Aku duduk di depan kedua orang tuaku.
“Seperti narapidana saja!.” Gumamku dalam hati.
“Coba kau pikirkan kembali, menjadi seorang
santri bukanlah hal yang buruk.” Kata ayahku mengawali pembicaraan.
“Pokoknya mau tidak mau kamu harus masuk
pesantren.” Sambung ibu seolah-olah mendukung perkataan ayah.
Aku menunduk pasrah, aku tidak tahu apa yang
harus aku lakukan, sudah ribuan kali aku memohon namun tidak membuahkan hasil. Apalagi
bila aku menolak untuk masuk pesantren habislah diriku, bisa-bisa aku tidak
akan merasakan lagi rasanya bersekolah, kini aku bagai simalakama.
Suasana menjadi hening, emosi ayah yang
tadinya bergolak layaknya air yang dipanaskan kini mulai mereda. Perlahan aku
mulai menganggukkan kepala, tanda setuju meski hati ini sebenarnya menolak.
***
Malam hari ini sepi, tiada satupun bintang di
langit seolah-olah mengerti pada hatiku yang sedang hampa.
Aku duduk sambil melamun, tampak seorang perempuan
tengah duduk disampingku. Widya namanya, teman lamaku. Malam ini adalah malam
terakhirku berada di rumah karena esok
pagi aku akan berangkat ke sekolah baruku. Aku berfikir bagaimana cara
beradaptasi di sana?
“Hai!.” Sapa temanku yang tengah duduk
disampingku. Satu kata itu membubarkan lamunanku.
“Kamu kenapa? kok malah ngelamun gitu sih? nanti
kesambet setan lho!.” Kata temanku bak kereta ekslusif yang tidak bisa
dihentikan.
“Hush! ngaco kamu gimana kalau
kejadian”.balasku dengan kesal.
“Kamu kenapa? kok jadi emosian gitu sih?” Rayu
temanku seolah ingin memicu emosiku lagi.
Kutarik nafasku dengan perlahan-lahan lalu
kuhembuskan kembali. Aku memulai berbicara tentang masalahku kepadanya.
“Coba kamu bayangkan bagaimana rasanya kalau
kita dimasukkan ke pondok pesantren?” Kataku. Temanku tersenyum,
”Itu hal yang bagus, jika aku menjadi kamu, aku
nggak akan menyia-nyiakan kesempatan itu, andai aku bisa seperti kamu” Keluh
temanku.
Kini aku sadar aku adalah orang yang
beruntung, aku merasa iba kepada Widya yang telah putus sekolah karena himpitan
ekonomi. Perlahan hatiku luluh,
”Apa salahnya bila aku masuk ke pesantren itu
bukanlah hal yang buruk,” Gumamku dalam hati.
***
Waktu terasa sangat cepat berlalu, kini pagi
telah tiba, suara ayam jantan telah terdengar disusul oleh suara adzan yang
merdu.
“Ririn, cepat ambil air wudhu, kita shalat
subuh berjama’ah” Kata ayah.
Mungkin ini shalat subuh terakhirku di rumah, pikirku.
Setelah shalat subuh aku mengemasi
barang-barang yang akan kubawa. Kami berangkat setelah subuh, maklumlah
perjalanan Tasikmalaya-Kudus bukanlah perjalanan yang sekejap namun cukup
menguras waktu dan tenaga.
***
Miftahul Hidayah, itulah nama pondok pesantren
yang akan menjadi tempat untukku menuntut ilmu dan membina diri.
Tak lama setelah aku membereskan
barang-barangku kedua orang tuaku pergi meninggalkanku di pondok ini, dikarenakan
hari yang sudah gelap dan raga yang telah lelah, orang tuaku terpaksa menunda
perjalanan pulang ke Tasikmalaya dan lebih memilih untuk mencari penginapan.
Malam ini adalah malam pertama kalinya aku
tidur di pondok ini. Kini malam semakin mecekam dan semakin sepi, kini tinggal
ku duduk sendiri sambil bersandar pada lemariku, waktu menunjukkan pukul 01.00
dini hari, aku masih asyik mencoret-coret buku diaryku, mencoba menuangkan
seluruh perasaan yang aku rasakan saat ini. Namun sepinya malam memaksaku untuk
menyerah pada rasa kantuk.
***
Aku membuka mata, rasanya benar-benar aneh, aku
berada di suatu tempat yang aku sendiri tidak tahu dan tidak pernah pergi ke
tempat tersebut.
Sebuah ladang jagung yang tandus , tampak
seorang wanita yang sedang mengisi air menggunakan sebuah ember yang telah
rusak, Ia membawa air itu ke suatu tempat, namun yang terjadi air itu habis di
tengah jalan karena ember yang ia pakai adalah ember bolong.
Ia terus mondar-mandir mengambil air, namun
usahanya itu sia-sia. Melihat kejadian yang berlansung di depan mataku itu aku
geram.
“ Hai!! embermu itu rusak, hai...!hai...!” Bentakku
pada perempuan itu.
Aku
terus berteriak namun Ia seolah-oleh tidak mendengarkan apa yang aku katakan. Tiba-tiba
seorang pria yang tak dikenal berjalan menghampiriku.
“ Siapakah wanita bodoh yang sedang membawa
ember bolong itu!?” Tanyaku pada lelaki misterius itu.
Ia tersenyum kecut.
“Wanita itu adalah kau!” Jawab lelaki itu
dengan tegas.
Aku tercengang mendengar pernyataan lelaki
misterius itu
“ Tidak! tidak mungkin itu diriku!!” Bantahku.
“Air itu adalah kebaikan yang kau perbuat, sedangkan
ember yang kau pakai itu rusak karena dosa-dosamu selama ini pada orang tuamu, semua
amal kebajikanmu itu terbuang sia-sia” Jelas pria itu.
Aku menunduk sejenak setelah ku kembali mengangkat
wajahku namun lelaki misterius itu telah menghilang bersama dengan
menghilangnya wanita pembawa ember. Namun tiba-tiba segerombolan ular
menyerbuku, menyerang tubuhku.
“A..a..a....a..arg!!!!!” Aku berteriak, napasku
tergesa-gesa. Syukurlah ini hanya mimpi buruk. Aku segera pergi meninggalkan
tempat tidurku untuk mengambil air wudhu lalu melaksanakan shalat tahajjud.
***
Pagi telah kembali menyambutku, sekarang
mentari telah cukup terik menyinari bumi. Seseorang memanggil namaku, aku yang
sedang berada di kamar mandi bersegera menyelesaikan mandiku untuk menemui
orang tersebut.
“Ada tamu untuk Kakak..” Kata orang tersebut.
Aku hanya mengangguk dan mengucapkan
terimakasih. Aku bertanya-tanya dalam hati akan siapakah tamuku. Tanpa basa
basi lagi aku segera pergi menemui tamuku, namun tak kusangka tamuku itu adalah
orang tuaku. Mereka mengantarkan barang-barangku yang tertinggal.
Aku berlari ke arah orang tuaku,lalu aku
mencium tangan keduanya dengan air mata yang berlinang dimataku, aku meminta
maaf kepada mereka atas semua kesalahan yang telah ku lakukan.
*Rina NS adalah santriwati Ponpes
Riyadlul ‘Ulum wadda’wah
Kelas VIII. Anggota Komunitas Kepenulisan Matapena Rayon
Tasikmalaya.
Tertarik pada sastra. Mimpi Petunjuk adalah Cerpen pertamanya yang
dimuat di media cetak.
0 komentar:
Posting Komentar