Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 03 Februari 2013

Mimpi Petunjuk

Oleh Rina Nursamsyiah


Dragg.....!!!!!!
suara pintu yang ku dorong sekuat tenaga. Aku melentangkan tubuhku di atas kasur. Kata-kata orang tuaku yang masih mendengung di telingaku. Aku tidak mengerti mengapa orang tuaku bersikeras menyuruhku untuk melanjutkan sekolah ke pesantren. Aku kesal kepada orang tuaku, aku merasa orang tuaku tidak menyayangi diriku. Apa merka ingin membuangku? seribu pertanyaan memenuhi otakku.
Keesokan harinya orang tuaku kembali membicarakan soal sekolahku. Aku duduk di depan kedua orang tuaku.
“Seperti narapidana saja!.” Gumamku dalam hati.
“Coba kau pikirkan kembali, menjadi seorang santri bukanlah hal yang buruk.” Kata ayahku mengawali pembicaraan.
“Pokoknya mau tidak mau kamu harus masuk pesantren.” Sambung ibu seolah-olah mendukung perkataan ayah.
Aku menunduk pasrah, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, sudah ribuan kali aku memohon namun tidak membuahkan hasil. Apalagi bila aku menolak untuk masuk pesantren habislah diriku, bisa-bisa aku tidak akan merasakan lagi rasanya bersekolah, kini aku bagai simalakama.
Suasana menjadi hening, emosi ayah yang tadinya bergolak layaknya air yang dipanaskan kini mulai mereda. Perlahan aku mulai menganggukkan kepala, tanda setuju meski hati ini sebenarnya menolak.
***
Malam hari ini sepi, tiada satupun bintang di langit seolah-olah mengerti pada hatiku yang sedang hampa.
Aku duduk sambil melamun, tampak seorang perempuan tengah duduk disampingku. Widya namanya, teman lamaku. Malam ini adalah malam terakhirku berada di rumah karena  esok pagi aku akan berangkat ke sekolah baruku. Aku berfikir bagaimana cara beradaptasi di sana?
“Hai!.” Sapa temanku yang tengah duduk disampingku. Satu kata itu membubarkan lamunanku.
“Kamu kenapa? kok malah ngelamun gitu sih? nanti kesambet setan lho!.” Kata temanku bak kereta ekslusif yang tidak bisa dihentikan.
“Hush! ngaco kamu gimana kalau kejadian”.balasku dengan kesal.
“Kamu kenapa? kok jadi emosian gitu sih?” Rayu temanku seolah ingin memicu emosiku lagi.
Kutarik nafasku dengan perlahan-lahan lalu kuhembuskan kembali. Aku memulai berbicara tentang masalahku kepadanya.
“Coba kamu bayangkan bagaimana rasanya kalau kita dimasukkan ke pondok pesantren?” Kataku. Temanku tersenyum,
”Itu hal yang bagus, jika aku menjadi kamu, aku nggak akan menyia-nyiakan kesempatan itu, andai aku bisa seperti kamu” Keluh temanku.
Kini aku sadar aku adalah orang yang beruntung, aku merasa iba kepada Widya yang telah putus sekolah karena himpitan ekonomi. Perlahan hatiku luluh,
”Apa salahnya bila aku masuk ke pesantren itu bukanlah hal yang buruk,” Gumamku dalam hati.
***
Waktu terasa sangat cepat berlalu, kini pagi telah tiba, suara ayam jantan telah terdengar disusul oleh suara adzan yang merdu.
“Ririn, cepat ambil air wudhu, kita shalat subuh berjama’ah” Kata ayah.
Mungkin ini shalat subuh terakhirku di rumah, pikirku.
Setelah shalat subuh aku mengemasi barang-barang yang akan kubawa. Kami berangkat setelah subuh, maklumlah perjalanan Tasikmalaya-Kudus bukanlah perjalanan yang sekejap namun cukup menguras waktu dan tenaga.
***
Miftahul Hidayah, itulah nama pondok pesantren yang akan menjadi tempat untukku menuntut ilmu dan membina diri.
Tak lama setelah aku membereskan barang-barangku kedua orang tuaku pergi meninggalkanku di pondok ini, dikarenakan hari yang sudah gelap dan raga yang telah lelah, orang tuaku terpaksa menunda perjalanan pulang ke Tasikmalaya dan lebih memilih untuk mencari penginapan.
Malam ini adalah malam pertama kalinya aku tidur di pondok ini. Kini malam semakin mecekam dan semakin sepi, kini tinggal ku duduk sendiri sambil bersandar pada lemariku, waktu menunjukkan pukul 01.00 dini hari, aku masih asyik mencoret-coret buku diaryku, mencoba menuangkan seluruh perasaan yang aku rasakan saat ini. Namun sepinya malam memaksaku untuk menyerah pada rasa kantuk.
***
Aku membuka mata, rasanya benar-benar aneh, aku berada di suatu tempat yang aku sendiri tidak tahu dan tidak pernah pergi ke tempat tersebut.
Sebuah ladang jagung yang tandus , tampak seorang wanita yang sedang mengisi air menggunakan sebuah ember yang telah rusak, Ia membawa air itu ke suatu tempat, namun yang terjadi air itu habis di tengah jalan karena ember yang ia pakai adalah ember bolong.
Ia terus mondar-mandir mengambil air, namun usahanya itu sia-sia. Melihat kejadian yang berlansung di depan mataku itu aku geram.
“ Hai!! embermu itu rusak, hai...!hai...!” Bentakku pada perempuan itu.
Aku terus berteriak namun Ia seolah-oleh tidak mendengarkan apa yang aku katakan. Tiba-tiba seorang pria yang tak dikenal berjalan menghampiriku.
“ Siapakah wanita bodoh yang sedang membawa ember bolong itu!?” Tanyaku pada lelaki misterius itu.
Ia tersenyum kecut.
“Wanita itu adalah kau!” Jawab lelaki itu dengan tegas.
Aku tercengang mendengar pernyataan lelaki misterius itu
“ Tidak! tidak mungkin itu diriku!!” Bantahku.
“Air itu adalah kebaikan yang kau perbuat, sedangkan ember yang kau pakai itu rusak karena dosa-dosamu selama ini pada orang tuamu, semua amal kebajikanmu itu terbuang sia-sia” Jelas pria itu.
Aku menunduk sejenak setelah ku kembali mengangkat wajahku namun lelaki misterius itu telah menghilang bersama dengan menghilangnya wanita pembawa ember. Namun tiba-tiba segerombolan ular menyerbuku, menyerang tubuhku.
“A..a..a....a..arg!!!!!” Aku berteriak, napasku tergesa-gesa. Syukurlah ini hanya mimpi buruk. Aku segera pergi meninggalkan tempat tidurku untuk mengambil air wudhu lalu melaksanakan shalat tahajjud.
***
Pagi telah kembali menyambutku, sekarang mentari telah cukup terik menyinari bumi. Seseorang memanggil namaku, aku yang sedang berada di kamar mandi bersegera menyelesaikan mandiku untuk menemui orang tersebut.
“Ada tamu untuk Kakak..” Kata orang tersebut.
Aku hanya mengangguk dan mengucapkan terimakasih. Aku bertanya-tanya dalam hati akan siapakah tamuku. Tanpa basa basi lagi aku segera pergi menemui tamuku, namun tak kusangka tamuku itu adalah orang tuaku. Mereka mengantarkan barang-barangku yang tertinggal.
Aku berlari ke arah orang tuaku,lalu aku mencium tangan keduanya dengan air mata yang berlinang dimataku, aku meminta maaf kepada mereka atas semua kesalahan yang telah ku lakukan.

*Rina NS adalah santriwati Ponpes Riyadlul ‘Ulum wadda’wah
Kelas VIII. Anggota Komunitas Kepenulisan Matapena Rayon Tasikmalaya.
Tertarik pada sastra. Mimpi Petunjuk adalah Cerpen pertamanya yang dimuat di media cetak.

0 komentar:

Posting Komentar