Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 23 November 2010

Cerpen

MELEWATI ARAHAN RINDU
Mul Nurjannah



      Malam ini tak ada bulan bintang. Tak satupun muncul di langit yang berawan hitam sejak petang langit muram semuram hati Mentari yang kini membawanya larut dalam sebuah kesedihan.
“ Mentari, ini kalung dan boneka pink buat kamu. Ini hadiah terakhir dariku agar kamu tidak lupa namaku.” Ucap Raka.
“ Makasih, Raka. Aku akan selalu mengingatmu sampai kita bertemu kembali di taman ini” Jawabnya.
“ Kamu janji, yah! Saat kamu kembali kesini kamu jangan lupa sama aku” Pintanya.
Mentaripun hanya mengulurkan tangannya dan mengangkat jari kelingkingnya sebagai tanda bahwa Mentari akan selalu ingat pada Raka.
    “ Mentari janji..”
    “ Raka juga janji..”
    “ Kalau gitu udah ya…dadah, Raka…!”
    “ Dah…” Timpalnya.
    “ Astagfirulloh…” Gumam Mentari.
Ternyata Mentari hanya melamun entah mengapa malam itu bayangan Raka seringkali muncul di memori pikirannya, padahal kejadian itu sudah terjadi 8 tahun kebelakang. Tapi Mentari masih senantiasa mengingatnya hingga akhirnya tinta yang sedari tadi di pegangnya tumpah diatas kertas halaman terakhir buku diarinya.
Dear Diary,…
Kini bayangmu telah hadir kembali
Dalam jiwaku yang semu
Mampukah ku warnai hidupku
Dengan sesosok sahabat sepertimu
Sahabat…
Jarak yang tak memungkinkan ini
Menjadikan hijab penghalang
Pertemuan kita namun perlu kau tahu..
Kesetiaan itu masih terbentang di dasar hatiku..
-Mentari-

Hanya kalimat itulah yang Mentari tulis di buku diarinya sebagai untaian kerinduan hatinya pada sahabat kecilnya Raka. Hampir 6 tahun Mentari kehilangan kabar dari Raka sehingga kerinduan itu semakin menggebu di dasar hatinya.
    “ Mentari, sini deh!” Ajak Nena.
    “ Ada apa Na? aku lagi malas bangun…” Ujar Mentari sekenanya.
    “ Kamu tahu nggak?” Nena menghampiri Mentari di depan jendela.
    “ Apa?” Tampak dari wajahnya menuntut Nena untuk menjawab.
    “ Sebenarnya aku bertemu dengan Ibunya Raka. Lalu Ibunya memberikan ini buat kamu.” Jelasnya.
Tanpa di komandoi, kedua mata Mentari langsung tertuju pada amplop yang Nena pegang.
    “ Pasti ini dari Raka” Pikirnya.
    “ Coba deh buka!” Suruh Nena.
Akhirnya surat yang berwarna kebiru-biruan itu Mentari buka dengan hati yang berbunga-bunga.
Sahabatku Mentari,
Ini adalah surat terakhirku yang akan menjadikan kerinduan itu tak lagi kembali hadir. Sahabatku, kini aku baru sadar kehilangan sosok sahabat sepertimu adalah hal yang tidak aku inginkan. Namun apalah dayaku.
Sahabat, mungkin aku tak akan kembali lagi padamu, dan aku mohon relakanlah aku untuk pergi agar kelak nanti aku bisa tersenyum disana. Ingatlah kenangan semasa kecil kita dulu yang selalu ku ingat sesampainya aku di dasar waktu yang telah berakhir.
Salam,
Sahabatmu, Raka
Air mata yang terus menerus menetes kini membasahi kertas di depannya.Mentari bingung apa arti dari surat ini, surat yang menandakan sesuatu yang membuat Mentari berpikiran negatif.
    “ Na, apa Raka??...”
    “ Ssstt…sudahlah jangan berpikiran negatif!” Sambungnya. Mentaripun menundukan kepalanya meratapi kesedihannya dalam naungan malam sehingga dekapan sang malam membuat mereka tertidur menunggu akan hari yang akan mengatakan apa arti sebenarnya isi surat yang diberikan Raka.
***
    Embun yang menetes, matahari yang akan terbit dan burung yang berkicau menjadikan awal dari kesedihannya pagi ini. Candatawa yang setiap pagi mewarnai keluarganya kini tidak terlihat kembali. Keterpurukannya dalam masalah menjadikan kebisuan yang tidak diharapkan oleh keluarganya termasuk saudaranya Nena.
    “ Mentari, jadilah orang seperti arti dari namamu” Ucap Nena. Suara itu muncul dari arah pintu kamar yang terbuka lebar dengan begitu Mentari langsung menghapus airmatanya.
    “ Mantari, namamu sangat bagus. Dari itu, jadikanlah namamu sebagai motifasi senyummu agar kamu bisa menerangi orang-orang yang membutuhkanmu” Ucapnya kembali sambil menghampiri Mentari didepan jendela kamarnya.
    “ Di saat-saat seperti sekarang ini aku tak mampu Na melakukannya. Jangankan untuk tersenyum, belajar menjadi orang tegarpun masih sangat sulit kulakukan.” Timpalnya.
    “ Iya, aku mengerti. Tapi alangkah baiknya kalau kamu melupakan Raka.” Cetus Nena sembari menghempaskan tubuhnya diatas kasur.
    “ Sudahlah!..ini tak semudah yang kamu pikirkan, Na.” Timpalnya kesal.
Perselisihan diantara mereka berdua kembali terjadi. Tak aneh bila sang Ibu terus menerus buka mulut ketika melihat mereka seperti anak kecil.
    “ Iya Ibu, itu Mentari duluan yang mulai.” Tunjuk Nena.
    “Ih, nggak Bu..dasar Nena!...” Tepis Mentari sambil mencubit tangan Nena.
    “Tuh kan Ibu, Mentari yang mulai!”
    “ Sudah, sudah, mendingan Nena keluar dulugih, Ibu mau bicara sama Mentari” Pinta Ibu.
    “ Pasti Mentari mau dimarahin ya Bu, udah Bu, marahin aja sampe puas,” Ledeknya.
Akhirnya Nena keluar dengan sendirinya sehingga kamarpun sangat sepi dan hening.
    “ Mentari, Ibu mendapatkan kabar dari Ibunya Raka”
    “ Terus apa katanya, Bu?” Mentari penasaran dengan ucapan Ibunya.
    “Sebenarnya Raka sudah pergi untuk selamanya, Nak…”
    “ Apa?!...” Mentari setengah berteriak, tak percaya.
Perkataan Ibu sangat mengiris hati Mentari. Ternyata inikah jawaban dari semua pertanyaan hatinya. Surat dari Raka menjadikan surat terakhir yang Raka tulis semasa hidupnya, dan baru sampai kepadanya kemarin malam. Semuanya sangat sulit Mentari terima.
    “ Sudah ya Nak, jangan menangis lagi. Tenangkan hatimu, semua ini adalah takdir yang harus kamu terima, Nak.” Ucap Ibu memeluk erat tubuh Mentari.
    Hanya kalimat itulah yang mengakhiri perkataan sang Ibu. Selanjutnya Ibu pergi dari kamar Mentari. Membiarkannya untuk dapat menenangkan hati. Namun siapa sangka Mentari semakin terpuruk sedih. Pagi itu buku dan tinta didepannya langsung Ia raih.
Sahabatku Raka,
Raka, sahabatku, kenapa semuanya terjadi tanpa arah. Inikah jawaban yang begitu sangat sulit untuk aku terima. Perpisahan tiga tahun yang lalu menjadikan kepingan-kepingan rindu yang sampai saat ini masih menjeratku.
Dan sampai disinikah penantianku untuk bertemu denganmu?...selamat tinggal sahabatku, ku relakan
semuanya. Kenyataan memang sudah menjadi takdir, dan biarkanlah dia mengalir apa adanya.
Aku tahu kamu tak mampu mendengar apalagi membaca surat ini, namun biarkanlah kutulis sebagai surat balasan yang tak tersampaikan.
Kini aku akan melewati arahan rindu itu, meskipun memang berat untuk aku lakukan.
Raka pergilah dengan tenang disana, aku akan mengenang semua cerita indah yang pernah terbingkai dihatiku.
Salam,
Mentari

Kertas itu mentari lipat berbentuk kapal udara yang akan terbang kemanapun angin membawanya untuk terbang agar menjadikan awal curahan rindu yang akan berusaha Mentari hempaskan tapi akan senantiasa terkenang untuk selamanya. Dengan semua kenangan yang tak akan pernah hilang di lubuk hati Mentari sampai waktu yang akan mempertemukan mereka kembali untuk Raka yang telah pergi.

0 komentar:

Posting Komentar